Artikel Education, General And Islamic

Definisi Wanprestasi Dan Prinsip Kehati-hatian Bank

Artikel terkait : Definisi Wanprestasi Dan Prinsip Kehati-hatian Bank


Wanprestasi berasal dari bahasa belanda “wanprestatie” artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan yang timbul dari perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhi kewajiban itu ada dua kemungkinan alasan yaitu:
1.  Karena kesalahan debitur, baik karena disengaja maupun karena kelalaian.
2.  Karena keadaan memaksa, jadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan keadaan bagaimana seorang debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, ada tiga keadaan yaitu:
1.  Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang
2.  Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau yang ditetapkan undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau undang-undang
3.  Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat dari waktu yang ditentukan dalam suatu perjanjian.[1]
Dalam suatu pembiayaan tidak menutup kemungkinan adanya suatu masalah, utamanya yaitu nasabah macet dan/atau tidak dapat melakukan pengangsuran dan pelunasan pembayaran Pembiayaan Rumah Hunian. Untuk mengurangi dan menyelesaikan hal tersebut tentu harus menggunakan teknik atau cara tertentu agar kerugian pihak bank dan nasabah dapat dihindari.
Perbankan baik konvensional ataupun yang berbasis syariah menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menekan adanya segala risiko yang mungkin terjadi, setidaknya ada 5 prinsip ( 5C ) yang harus diperhatikan dengan baik oleh bank untuk melihat kelayakan dalam menerima suatu pembiayaan antara lain yaitu:
1.  Character atau watak (calon) nasabah
Karakter calon nasabah dapat dilihat dari kejujurannya melalui investigasi yang dilakukan oleh marker (analisis kredit), keadaan lingkungan keluarga (calon) nasabah, dan riwayat peminjaman yang telah lalu (apabila calon nasabah pernah mengajukan pembiayaan/kredit di bank lain). Selain hal itu yang terpenting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur kemauan dari calon nasabah untuk melunasi pembiayaan yang telah diberikan oleh lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.
2.  Capital atau modal (calon) nasabah
Dalam modal ini yang dilihat adalah jumlah dana yang dimiliki nasabah untuk membeli barang yang akan diperlukannya atau menjalankan kegiatan usahanya. Dengan kata lain, (calon) nasabah dalam mengajukan permohonan pembiayaan harus memiliki setidaknya uang muka untuk membuka rekening yang akan digunakan sebagai cara pelunasan pembiayaan nantinya.
3.  Capacity atau kemampuan (calon) nasabah
Kemampuan (calon) nasabah untuk melunasi pembiayaan yang akan diberikan oleh bank syariah, dilihat dari usaha (calon) nasabah yang menjadi sumber pelunasan pembiayaan yang dimaksud. Misalnya dalam pembiayaan murabahah untuk tujuan konsumtif, hal ini bisa diprediksi secara jelas, tetapi untuk pembiayaan mudharabah dengan tujuan produktif pihak bank harus benar-benar selektif dalam melakukan penilaian. Di sini pihak bank harus benar-benar memperhitungkan aspek-aspek yang ada antara lain; aspek hukum, aspek pemasaran, aspek keuntungan, aspek manajemen, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
4.  Condition of economic atau kondisi ekonomi (calon) nasabah
Melihat faktor-faktor luar (ekonomi makro) yang mungkin terjadi dan dapat mempengaruhi kegiatan usaha (calon) nasabah yang menjadi sumber pelunasan dari pembiayaan bank/LKS yang diberikan kepadanya.
5.  Collateral atau agunan (calon) nasabah
Bank syariah juga menerapkan untuk adanya agunan. Dalam kontek agunan ini berlaku prinsip bahwa semua bentuk pembiayaan dapat dimintakan agunan kecuali pembiayaan mudharabah. Kenapa pembiayaan mudharabah tidak perlu adanya agunan atau jaminan karena risiko pembagian keuntungan dan kerugiannya sudah jelas. Praktik bahwa pembiayaan mudharabah juga diminta jaminan semata-mata untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian ini. Dalam hal pembiayaan mudharabah yang dijadikan sebagai agunan adalah obyek dari pembiayaan mudharabah itu sendiri. Namun apabila nilai dari obyek pembiayaan mudharabah tersebut dirasa tidak dapat mencukupi untuk menutupi pembiayaan, maka bank bias meminta barang lain untuk dijadikan sebagai agunan tambahan. Nilai dari agunan itu sendiri harus dapat menutupi jumlah pembiayaan yang dimohonkan oleh calon nasabah.[2]
Upaya yang dilakukan bank untuk penyelamatan terhadap pembiayaan bermasalah antara lain yaitu:
1.  Rescheduling
Rescheduling merupakan upaya yang dilakukan bank untuk menangani pembiayaan bermasalah dengan membuat penjadwalan kembali. Penjadwalan kembali dapat dilakukan kepada nasabah yang memiliki itikad baik akan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk membayar angsuran pokok maupun angsuran margin dengan jadwal yang talah dijanjikan. Penjadwalan kembali dilakukan oleh bank dengan harapan nasabah dapat membayar kembali.
2.  Reconditioning
Reconditioning merupakan upaya bank dalam menyelamatkan pembiayaan dengan mengubah seluruh atau sebagian perjanjian yang telah dilakukan oleh bank dengan nasabah. Perubahan kondisi dan persyaratan tersebut harus disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi oleh nasabah dalam menjalankan usahanya. Dengan perubahan persyaratan tersebut, diharapkan bahwa nasabah dapat menyelesaikan kewajibannya sampai dengan lunas.
3.  Restructuring
Restructuring merupakan upaya yang dilakukan oleh bank dalam menyelamatkan pembiayaan bermasalah dengan cara mengubah struktur pembiayaan yang mendasari pembiayaan tersebut.
4.  Kombinasi
Upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah yang dilakukan oleh bank dengan cara kombinasi antara lain:
a.     Rescheduling dan Restructuring
b.    Rescheduling dan Reconditioning
c.      Restructuring dan Reconditioning
d.    Rescheduling, Restructuring dan Reconditioning
5.  Eksekusi
Eksekusi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah. Eksekusi merupakan penjualan agunan yang dimiliki oleh bank. Hasil penjualan agunan diperlukan untuk melunasi semua kewajiban nasabah baik kewajiban pokok ataupun kewajiban margin. Sisa atas hasil penjualan agunan akan dikembalikan kepada nasabah. Sebaliknya kekurangan atas hasil penjualan agunan menjadi tanggungan nasabah, artinya nasabah diwajibkan untuk membayar kekurangannya. Pada praktiknya, bank tidak dapat menagih nasabah untuk melunasi kewajibanya. Atas kerugian karena hasil penjualan agunan tidak cukup, maka bank akan membebankan kerugian tersebut ke dalam kerugian bank.[3]
Telah dipaparkan mengenai teori kehati-hatian dalam memberikan pembiayaan yang berisiko langsung terhadap kondisi keuangan bank, selanjutnya penyusun akan memaparkan dua garis besar teori penyelesain pembiayaan yang tidak dapat diangsur dan atau dilunasi yaitu:
1.  Proses revitalisasi atau penyehatan pembiayaan
Proses revitalisasi atau penyehatan pembiayaan bermasalah ini hanya dilakukan kepada mitra usaha (mud{arib) bank telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran kewajiban kepada Bank Syariah. Mitra usaha memiliki kemauan untuk melakukan upaya penyehatan serta itikad baik untuk memenuhi kewajibannya.[4] Ketertundaan pemenuhan kewajiban oleh mitra usaha bukanlah disebabkan karena kesengajaannya, selain itu berdasarkan hasil evaluasi ulang pembiayaan yang dilakukan terdapat indikasi bahwa usaha mitra masih berjalan dan memiliki prospek yang baik, serta hasil usaha nasabah diyakini masih mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada bank. Proses revitalisasi atau penyehatan pembiayaan bermasalah meliputi:
a.     Penjadwalan kembali (Rescheduling), yaitu perubahan menyangkut jadwal pembayaran.
b.    Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan ketentuan pembiayaan termasuk perubahan maksimum saldo pembiayaan.
c.      Perubahan persyaratan (reconditioning), yaitu menyangkut ketentuan pembiayaan dan persyaratan lain.[5]
d.    Bantuan manajemen yaitu dengan menempatkan sumber daya insani pada posisi manajemen oleh bank.
2.  Penyelesaian melalui eksekusi jaminan
Tindakan ini dilakukan oleh pihak bank apabila upaya revitalisasi tidak dapat dilakkan karena nasabah sudah tidak lagi memiliki usaha dan sudah tidak kooperatif lagi dengan bank. Upaya penyelesaian melalui jaminan ini dilakukan dengan menyerahkan jaminan secara sukarela untuk dijual, melalui eksekusi riil jaminan, serta memintakan bantuan badan arbitrase yang akan diteruskan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan pengesahan sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial.
Melalui proses litigasi, tindakan ini dilakukan sebagai upaya terakhir yang dilakukan bank untuk pengembalian kembali sejumlah modalnya yang dapat dilakukan dengan mengajukan tuntutan pidana, gugatan perdata serta permohonan kepailitan.[6]




[1] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, tp, tt, 20.
[2] Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 23-24.
[3] Ismail, Manajemen Perbankan dari Teori Menuju Aplikasi (Jakarta: kencana, 2011), 126-130.
[4] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), 194.
[5] Ibid.,
[6] Ibid, 195.

Artikel Arwave Blog Lainnya :

2 komentar:

  1. Bang sebelumnya saya ucapakan terimakasih karena ilmu yang telah abang post menjadi referensi skripsi saya. mohon maaf untuk footnote pertama tu tahun judul dan nama penerbitnya apa ya?
    mohon dibalas
    AZMI MUKMININ

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo tidak salah Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992

      Hapus

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz